Meradang & Menerjang Bersama Chairil
oleh Iman Danial Hakim
Saya mula mengenali sosok Chairil Anwar selepas menonton
filem Ada Apa Dengan Cinta. Buku Aku tulisan Sjuman Djaya yang dibaca oleh
Rangga (kemudian Cinta) menarik perhatian untuk saya mencari dan mengenal lebih
akrab siapakah gerangan yang menghisap kretek pada muka hadapan buku.
Ya, saya yakin sebahagian penggemar sastera Indonesia dalam
kalangan anak-anak muda Malaysia mempunyai sejarah perkenalan yang sama dengan
sajak individualis Binatang Jalang ini.

Sajak Chairil istimewa kerana beliau membawa revolusi
terhadap perkembangan puisi Melayu moden. Umar Junus (1970) menggariskan 5
bentuk perubahan yang dibawa oleh sajak-sajak Chairil:
- Perubahan dari puisi kata kepada puisi kalimat
- Tugas baris dan bait dalam sebuah sajak
- Pemilihan kata-kata/diksi yang mengutamakan aspek erti berbanding aspek bunyi.
- Perulangan kata atau baris hanya jika benar-benar perlu
- Puisi lisan menjadi puisi tulisan
Mari kita lihat satu per satu kupasan tentang sajak-sajak
Chairil.
1. Perubahan dari Puisi Kata kepada Puisi Kalimat
Puisi Kata adalah puisi yang menitikberatkan kata-kata.
Suatu baris misalnya ditentukan oleh jumlah kata. Kalau sebuah bait
mementingkan rima akhir baris, maka kata-kata harus dipilih supaya sesuai
dengan rima tersebut (Umar Junus: 1970)
Lihat sajak Amir Hamzah ini sebagai contoh:
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela dimalam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Penggunaan kandil pada baris pertama menimbulkan aliterasi
pada baris tersebut. Pertukaran diksi dari kandil kepada pelita pada baris
kedua memberikan kesan lain, iaitu persamaan bunyi e-a antara pelita dan
jendela.
Untuk memahami konsep Puisi Kalimat pula, sila baca sajak Di
Tengah Sunyi oleh Rustam Effendi yang berikut:
Di tengah sunyi menderu rinduku
seperti topan. Merenggutkan dahan,
Mencabutkan akar, merenggutkan kembang kalbuku.
Lihat pula sajak Hampa karya Chairil ini:
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai kepuncak. Sepi memagut
Kedua-dua sajak Rustam dan Chairil mempunyai persamaan:
Baris-baris yang mempunyai noktah di tengahnya, seolah-olah membawa maksud
terdapat dua kalimat yang wujud dalam satu baris.
Baris “seperti topan. Merenggutkan dahan.” dalam sajak
Rustam dapat dibaca dengan dua kalimat yang berbeza - (1) seperti topan dan (2)
merenggutkan dahan. Begitu juga dengan kalimat “Lurus kaku pohonan. Tak
bergerak” dalam sajak Chairil dapat dibaca seperti berikut - (1) Lurus kaku
pohonan dan (2) Tak bergerak.
Ada persamaan sifat persajakan Chairil dengan Rustam. Mereka
berdua menggunakan noktah untuk mengelakkan pengulangan ayat. Bagi Rustam,
penggunaan noktah pada kalimat ini membawa maksud : “Di tengah sunyi menderu
rindukan seperti topan. Rindu itu merenggutkan dahan, mencabutkan akar,
merenggutkan kembang kalbuku.”
Chairil juga meletakkan noktah pada baris sajak Hampa untuk
menghindarkan perulangan. Perhatikan akibat pemakaian noktah pada baris pertama
dan kedua sajak Hampa. Kalau tidak ada noktah pada baris pertama itu, maka
baris tersebut harus dibaca sebagai:
Lurus kaku pohonan, tak bergerak.
Tak bergerak, sampai ke puncak.
Sampai kepuncak, sepi memagut
Dengan tak bergerak dan sampai kepuncak diulang 2 kali.
Sajak-sajak Chairil anti-pemborosan. Kesederhanaan menjadi
ciri utama yang membezakan sajak-sajak Chairil dengan sajak-sajak penyair
sebelumya. Hal ini bersesuaian dengan sifat Puisi Kalimat yang didasarkan
kepada manipulasi struktut kalimat ketimbang kata-kata/diksi. Segala sesuatu
tak perlu dinyatakan dengan jelas melalui kata-kata jika keadaannya boleh
diterangkan dari kemungkinan hubungan kalimat-kalimat di dalam sebuah bait
sajak (Umar Junus: 1970)
Contoh penggunaan noktah pada sajak Hampa yang diberikan
tadi memungkinkan kita untuk memberi interpretasi/tafsiran seperti yang telah
diterangkan.
Konsep Puisi Kalimat boleh difahami dengan lebih jelas jika
pembaca pergi kepada penjelasan pada aspek perubahan kedua yang dibawa oleh
sajak-sajak Chairil.
2. Tugas baris dan bait dalam sebuah sajak
Menurut Chairil, baris di dalam sesebuah sajak dianggap
sebagai suatu unit yang berdiri dengan sendiri. Ia tidak perlu langsung
dihubungkan dengan baris-baris lainnya. Hanya sewaktu proses
interpretasi/tafsiran kita dapat lihat kemungkinan hubungan yang ada antara
satu baris dengan baris lainnya. Lihat sajak Cintaku Jauh di Pulau ini:
Cintaku jauh di pulau
gadis manis, sekarang iseng sendiri.
yang mengandungi maksud-maksud berikut:
a) Cintaku jauh di pulau
b) Cintaku adalah seorang gadis manis
c) Gadis manis itu sekarang iseng sendiri.
Hanya dalam keadaan terpaksa Chairil merasa perlu memberikan
hubungan jelas antara satu baris dengan baris sebelumnya, iaitu dalam keadaan
jika tidak dijelaskan hubungannya, orang mungkin akan mengerti maksud yang
lain. Chairil menggunakan perkataan “yang” pada sajak ini:
Kamar ini jadi sarang penghabisan
dimalam yang hilang batas.
bertujuan untuk menghindarkan timbulnya maksud lain. Kalau
digunakan kalimat “dimalam hilang batas” tanpa perkataan “yang” maka erti bait
itu adalah “Kamar ini jadi sarang penghabisan dan dimalam jadi hilang batas.”
Sedangkan apa yang dimaksudkan oleh Chairil ialah “Kamar ini jadi sarang
penghabisan dan dimalam yang hilang batas.”
Hal ini berbeza dengan sajak penyair lain yang melihat baris
sebagai satu unit yang bersambung dengan baris sebelumnya. Perhatikan baris 2,
4, 6 dan 8 dari sajak Awan nukilan Sanusi Pane ini:
Awan datang melayang perlahan,
Serasa bermimpi, serasa berangan.
Bertambah lama, lupa didiri,
Bertambah halus, akhirnya seri
Dan bentuk menjadi hilang
Dalam langit bitu gemilang.
Demikian jiwaku lenyap sekarang
Dalam kehidupan teduh tenang.
Begitu juga halnya dengan bait sajak. Bait bagi Chairil adalah satu unit yang berdiri sendiri juga. Tak ada bahagian dari sebuah bait yang dapat berhubung langsung dengan bait lain. Tetapi tidaklah bermaksud bahawa hubungan itu langsung tidak boleh diadakan (Umar Junus: 1970). Perhatikan sajak Tak Sepadan di bawah ini:
Aku kira
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta,
Tak satu juga pintu terbuka.
Kedua bait ini boleh diertikan sebagai berikut:
a) Aku kira, beginilah nanti jadinya: Kau kawin, beranak
dan berbahagia, sedang aku mengembara serupa Ahasveros, yang dikutuk sumpahi
Eros.
b) Aku kira, beginilah nanti jadinya: Kau kawin, beranak
dan berbahagia.
c) Aku serupa Ahasveros yang dikutuk-sumpahi Eros, aku
merangkaki dinding buta, dengan tak satu juga pintu terbuka.
Chairil dengan sengaja tidak mengakhiri bait pertama dengan
sebarang tanda baca sedangkan bait kedua memang jelas diakhiri dengan noktah.
Jadi kita bebas memahami sajak Chairil dari mana-mana sudut interpretasi.
Kesedaran yang ada pada Chairil tentang kemandirian baris dan
bait telah menyebabkan sajak-sajak Chairil terasa lebih padat dan menarik dari
kebanyakan sajak penyair-penyair sebelumnya.
3. Pemilihan kata-kata/diksi yang mengutamakan aspek erti berbanding aspek bunyi.
Penyair-penyair sebelum Chairil memandang kata dari aspek
bunyi yang ada dalam kata itu. Sesebuah kata digunakan atau tidak digunakan
berdasarkan nilai bunyinya. Sebaliknya Chairil lebih menitikberatkan aspek erti
yang terkandung pada sebuah kata. Perkara ini dapat dilihat lewat sajak
terkenal Chairil, Aku:
Biar peluru menembus kulitkuAku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri.
Tiada rima a-b-a-b seperti yang sering kita lihat dalam
puisi-puisi tradisional; pantun, syair dan sebagainya.
4. Perulangan kata atau baris hanya jika benar-benar perlu
Perihal kepadatan sajak-sajak Chairil Anwar sudah
diterangkan serba sedikit di atas. Perkara ini ada kaitannya dengan pendirian
Chairil yang tidak mahu menggunakan pengulangan kata/diksi di dalam sajak
beliau. Kalau ada pengulangan pun, maka pengulangan itu betul-betul mempunyai
tugas yang khas dan fungsional di dalam sajak-sajak Chairil.
Bandingkan pengulangan yang ada di dalam sajak ini:
Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak, Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Dengan sajak Ke Desa karya Aoh K. Hadimadja:
‘Rang kota.’
Pernahkah tuan pergi ke desa,
Menghirup bumi,
baru dicangkul menyegar rasa
Pernahkah tuan duduk di tengah ladang,
Dengan peladang bersenda gurau,
Menunggu jagung di dalam unggun,
Sebelum pacul kelak mengayun?
Pernahkah tuan tegak di tepi sawah,
Padi beriak menyibak sukma,
Pipit bercicit,
Riang haram bersusah?
Pengulangan kata “menanti” dalam sajak Chairil berguna untuk
melukiskan betapa dalamnya dan peritnya menanti yang ada, sehingga penantian
ini mampu merosakkan hidup manusia. Walaubagaimanapun, perkara yang sama tidak
berlaku dalam sajak Aoh tadi. Pengulangan yang digunakan semata-mata untuk
keperluan pengulangan sahaja. Pengulangan ini tidak memberikan sebarang
perubahan erti dan estetika kepada kepadatan isi sajak itu.
5. Puisi lisan menjadi puisi tulisan
Sajak-sajak Chairil hanya dapat difahami setelah kita
mengetahui keempat-empat bentuk perubahan yang beliau bawa di dalam
perkembangan puisi moden Indonesia. Sajak-sajak beliau tidak akan dapat
dimengerti sepenuhnya bila kita hanya mendengar orang membacanya. Kerana
sajak-sajaknya tidak mementingkan permainan bunyi sepertimana puisi
tradisional. Kita akan memahami dan menikmati sajak-sajak Chairil bila kita
baca sendiri dari bentuk sebenarnya seperti sajak Hampa, Tidak Sepadan dan Aku.
Kesimpulan
Walaupun Chairil Anwar pernah terpalit dengan isu plagiat
sajak, seperti sajak Datang Dara Hilang Dara yang dikatakan hasil terjemahan
sajak The Song of the Sea karya Hsu Cih Mo, kita tetap tidak boleh menafikan
sumbangan beliau terhadap perkembangan puisi moden Indonesia.

Chairil Anwar mahu merdeka, ingin hidup seribu tahun lagi tanpa
menghamba kepada sesiapa. Semangat beliau tumpah ke dalam sajak-sajak yang
tidak banyak bilangannya, tetapi menjadi permata yang sukar dicari ganti.
*** IMAN DANIAL HAKIM. Mantan Minggu Penulis Remaja 2017 ini aktif menulis artikel di Mukasurat.my dan Jejak Tarbiah. Projek terbarunya adalah Akademi Berbagi Buku.
Ulasan
Catat Ulasan